Senin, Februari 09, 2009

Memetakan Peran Kebudayaan di Sulut

SERIUS: 2009 dijadikan sebagai tahun sinergitas budaya di Sulut. Karena itu akan ada kegiatan yang akan dilaksanakan
MENGUBAH tuduh jadi tanya; curiga jadi kerjasama; pisah jadi padu. Lantas “cerai jadi rujuk. Adalah kalimat-kalimat yang saya temukan setelah usai memandu acara dialog kebudayaan antara pemangku kepentingan kebudayaan dan kebahasaan di Sulawesi Utara. Acara yang dihelat oleh Balai Bahasa Sulawesi Utara dan Manado Post, 30 Desember 2008 lalu itu betul-betul membuktikan bahwa para pemangku kepentingan kebudayaan di Sulawesi Utara telah menetapkan sinergisitas sebagai strategi kerjasama yang dipilih. Diawali dengan papar program dari Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata dan Budaya, yang kemudian dikaji berdasarkan pengalaman para seniman dan akademisi maka terciptalah dialog yang “ mengubah tuduh jadi tanya; curiga jadi kerjasama, pisah jadi padu. Lantas “cinta mewujud kawin”. Romantis tetapi realistis. Sebab berilhamkan semangat natal, tahun baru hijriah dan miladiah, masing-masing pihak bertekad menetapkan keniscayaan kerja sama dibarengi dengan kesadaran pentingnya keterbukaan program di antara segenap pemangku kepentingan kebudayaan. Maka berbagai rancangan pun ditegaskan secara terbuka. Baik pihak Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Pariwisata dan Budaya, Taman Budaya, Balai Arkeologi, Dewan Seni Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Museum dan Balai Bahasa serta akademisi, seniman dan budayawan Sulawesi Utara betul-betul menunjukkan kesungguhan untuk memetakan tahun 2009 sebagai tahun kerjasama kebudayaan secara strategis.

Difahami bersama bahwa para pemangku kepentingan kebudayaan di Sulawesi Utara—melalui kerjasama strategis, tidak sekadar saling mengetahui dan mendukung program yang dijalankan, tetapi juga menargetkan keunggulan komparatif. Arah menuju kondisi tersebut ditetapkan berdasarkan pada kenyataan bahwa daerah ini mengalami percepatan pembangunan tetapi dengan cara yang mengalpakan budaya. Hal tersebut memilukan, ujar Pitres Sombowadile penulis yang menggagas Poros Budaya Manado-Magelang, bersama Remy Sylado. Kepiluan tersebut, karenanya harus disembuhkan. Maka itulah sebabnya J Star Wowor, dari Dinas Pendidikan Sulawesi Utara yang peduli pada peran kebudayaan mengemukakan perlunya andil kebudayaan di dalam pembangunan masyarakat Sulawesi Utara. Maklum, Jusuf Susilo, wartawan nasional kebudayaan yang terundang hadir menyebut Indonesia sekarang ini sedang sakit. Itulah sebabnya, kerja sama berbagai pemangku kepentingan budaya dengan menggunakan berbagai peluang dan sarana, terutama pemanfaatan media dan teknologi, maksudnya agar sembuh, jadi wajib, tandas Jusuf Susilo. Rusli Manorek, dari Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional serta J Paulus dari Taman Budaya karenanya sepakat untuk mengelola setiap program di antara pemangku kepentingan kebudayaan untuk dikordinasikan. Tandas Bonny Tooy dari Balai Arkeologi “Ini saatnya kita mendengar apa yang sebaiknya kita lakukan bersama”. Sehingga peran kebudayaan jadi lebih sinergis. Untuk membuktikan komitmen tersebut semua sepakat pertemuan serupa akan dilanjutkan yang berorientasi pada penerapan strategi 2009 sebagai tahun kerjasama kebudayan. Tidak ada curiga, tuduh, dan sendiri-sendiri, melainkan padu. Kebudayaan di Sulawesi Utara niscaya dibutuhkan untuk mendampingi berbagai program dan peristiwa tanpa harus terjebak dengan wacana-wacana besar yang diusung dengan semangat menghadirkan politik adegan. Sekarang ini semua pihak ingin kelihatan penting dan besar dengan tujuan yang sarat kepentingan politik. Ini memang zamannya. Itulah sebabnya pemangku kebudayan wajib mengambil peran memberi inspirasi bahwa hidup bersama bukanlah semata merebut kesempatan melainkan menyempatkan untuk mengambil posisi strategis sebagai pemberi pencerahan akalbudi dan martabat bangsa, bukan perorangan atau kelompok semata.(*)

Catatan Kebudayaan 2009  
Oleh
Kamajaya Al Katuuk